Siapa dapat haji mabrur?
Setiap jamaah tentu mendambakan haji mabrur yang menurut hadits dari Abu Hurairah, bakal mendapatkan balasan surga. Persoalannya, apa hakikat haji mabrur dan apa indikatornya ?
Kata mabrur seperti diterangkan Ibn Mandhur dalam Lisan al-Arab, mengandung dua makna:
Pertama, mabrur berarti baik, suci dan bersih. Jadi haji mabrur adalah yang tak terdapat didalamnya noda dan dosa. (Dalam hal jual-beli berarti tak mengandung dusta dan penipuan)
Kedua, mabrur berarti maqbul, artinya mendapat ridhla Allah SWT. Lalu siapa-siapa sajakah yang berhasil meraih haji mabrur? Jawabannya agaknya menjadi rahasia Allah. Boleh jadi jumlah mereka tak terlalu banyak.
Kisah perjalanan haji Ibnu Muwaffaq yang dikutip al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din menunjukkan itu. Diceritakan, ketika Ibnu Muwaffaq berada di suatu masjid di Mina, ia sempat tertidur sejenak. Dalam tidurnya, ia melihat dan mendengar dialog dua orang malaikat.
Seorang bertanya kepada temannya, “berapa jumlah jamaah haji tahun ini?” “Enam ratus ribu orang”, jawabnya. “Berapa orang dari mereka yang hajinya maqbul?” tanyanya lagi. “Enam orang saja” kata temannya singkat. Mendengar jawaban ini Ibnu Muwaffaq terjaga. Gemetaran ia termenung sejenak, memikirkan betapa besarnya jumlah jamaah haji ketika itu, tetapi betapa sedikitnya jumlah yang maqbul. Meski orang yang meraih haji mabrur tak dapat diidentifikasi secara pasti, namun Rasulullah SAW pernah menunjukkan beberapa indikatornya.
Ketika ditanya tentang kebaikan haji, beliau bersabda: “memberi makan dan bertutur kata yang baik”. Memberi makan disini harus dipahami secara luas, yaitu kesediaan kita untuk berbagi rasa dengan sesama serta kesanggupan kita untuk menyumbangkan sebagian harta yang kita miliki untuk fakir miskin dan kaum dhuafa.
Sedang yang dimaksud bertutur kata yang baik, menurut Imam Ghazali adalah berbudi luhur dan berakhlak mulia. Setiap pelaku haji, demikian al-Ghazali, harus memperhatikan betul soal akhlak ini, baik sewaktu berada di tanah suci maupun setelah kembali ke kampung halamannya.
Inilah makna yang dapat dipahami dari ayat 197 Al-Baqarah: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. Kedua indikator yang disebut Rasulullah SAW diatas berdimensi sosial.
Ini berarti haji yang mabrur pada hakikatnya adalah haji yang dapat membuat pelakunya semakin peduli terhadap persoalan-persoalan sosial dan kemanusiaan. Ia dan masyarakat memperoleh kebaikan dari ibadah haji yang dilakukannya. Karena itu, surga Allah memang pantas dan layak baginya.
Diambil dari SINI
Pertama, mabrur berarti baik, suci dan bersih. Jadi haji mabrur adalah yang tak terdapat didalamnya noda dan dosa. (Dalam hal jual-beli berarti tak mengandung dusta dan penipuan)
Kedua, mabrur berarti maqbul, artinya mendapat ridhla Allah SWT. Lalu siapa-siapa sajakah yang berhasil meraih haji mabrur? Jawabannya agaknya menjadi rahasia Allah. Boleh jadi jumlah mereka tak terlalu banyak.
Kisah perjalanan haji Ibnu Muwaffaq yang dikutip al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din menunjukkan itu. Diceritakan, ketika Ibnu Muwaffaq berada di suatu masjid di Mina, ia sempat tertidur sejenak. Dalam tidurnya, ia melihat dan mendengar dialog dua orang malaikat.
Seorang bertanya kepada temannya, “berapa jumlah jamaah haji tahun ini?” “Enam ratus ribu orang”, jawabnya. “Berapa orang dari mereka yang hajinya maqbul?” tanyanya lagi. “Enam orang saja” kata temannya singkat. Mendengar jawaban ini Ibnu Muwaffaq terjaga. Gemetaran ia termenung sejenak, memikirkan betapa besarnya jumlah jamaah haji ketika itu, tetapi betapa sedikitnya jumlah yang maqbul. Meski orang yang meraih haji mabrur tak dapat diidentifikasi secara pasti, namun Rasulullah SAW pernah menunjukkan beberapa indikatornya.
Ketika ditanya tentang kebaikan haji, beliau bersabda: “memberi makan dan bertutur kata yang baik”. Memberi makan disini harus dipahami secara luas, yaitu kesediaan kita untuk berbagi rasa dengan sesama serta kesanggupan kita untuk menyumbangkan sebagian harta yang kita miliki untuk fakir miskin dan kaum dhuafa.
Sedang yang dimaksud bertutur kata yang baik, menurut Imam Ghazali adalah berbudi luhur dan berakhlak mulia. Setiap pelaku haji, demikian al-Ghazali, harus memperhatikan betul soal akhlak ini, baik sewaktu berada di tanah suci maupun setelah kembali ke kampung halamannya.
Inilah makna yang dapat dipahami dari ayat 197 Al-Baqarah: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. Kedua indikator yang disebut Rasulullah SAW diatas berdimensi sosial.
Ini berarti haji yang mabrur pada hakikatnya adalah haji yang dapat membuat pelakunya semakin peduli terhadap persoalan-persoalan sosial dan kemanusiaan. Ia dan masyarakat memperoleh kebaikan dari ibadah haji yang dilakukannya. Karena itu, surga Allah memang pantas dan layak baginya.
Diambil dari SINI
1 comments:
Sah haji belum tentu mabrur. Haji yang mabrur adalah yang dapat mengubah sikap dan tingkahlaku. Berbakti dan beramal soleh. Org lama.
Post a Comment